Kemenkeu Waspadai Kenaikan Harga Pangan Akibat Perang Rusia – Ukraina

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) optimistis pemulihan ekonomi tetap berlanjut di awal tahun ini meski diwarnai sejumlah risiko, seperti Omicron hingga perang Rusia dan Ukraina. Meski demikian, Kemenkeu masih akan mewaspadai dampak dari perang yang dapat mempengaruhi ekonomi Indonesia, antara lain terhadap kenaikan harga pangan dan inflasi domestik.
Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengatakan, pemerintah melihat perang Rusia dan Ukraina sebagai risiko yang sangat serius. Perang berdampak pada kenaikan harga komoditas, terutama energi dan pangan sehingga berisiko terhadap kenaikan inflasi domestik.
Suahasil mengatakan, perang Rusia dan Ukraina dapat berdampak terhadap ekonomi Indonesia lewat sejumlah saluran, di antaranya keuangan dan perdagangan.
“Dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi juga harus kita monitor dan antisipasi bersama, tentu dalam beberapa waktu kita akan melihat seberapa besar pertumbuhan ekonomi di kuartal I ini,” kata Suahasil.
Ia memperkirakan pertumbuhan ekonomi di kuartal pertama tahun ini masih akan cukup baik meskipun situasi global masih tidak menentu akibat perang. Ekonomi Januari-Maret 2021 masih akan tumbuh positif, antara lain terdampak low based effect pada tahun lalu. Pada kuartal I 2021, ekonomi Indonesia masih terkontraksi 0,74% secara tahunan.
“Jadi tahun ini semoga kita masih mendapatkan kombinasi antara dorongan pemulihan maupun dorongan angka pertumbuhan ekonomi yang karena tahun lalunya masih sedikit negatif, ini semacam technical rebound yang masih kita dapatkan,” kata Suahasil.
Sementara itu, aktivitas produksi juga masih melanjutkan perbaikan yang tercermin dari Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur Indonesia yang masih di zona ekspansi selama beberapa bulan terakhir. “Kami meyakini bahwa dunia usaha mulai melihat ke depan situasi Covid-19 akan terus membaik, sehingga mulai meningkatkan intensitas produksi dan penjualanya,” kata Suahasil.
Nilai tukar rupiah berpotensi melemah karena pernyataan Gubernur The Fed yang memberikan indikasi bank sentral AS akan agresif memerangi inflasi.
Nilai tukar rupiah dibuka melemah 15 poin ke level Rp 14.352 per dolar AS di pasar spot Selasa (22/3). Pelemahan rupiah terimbas sinyal bank sentral Amerika Serikat yang berpeluang menaikkan bunga acuannya lebih agresif untuk memerangi inflasi. Mengutip Bloomberg, rupiah melanjutkan pelemahan ke Rp 14.353 pada pukul 09.15 WIB. Ini semakin jauh dari posisi penutupan kemarin di Rp 14.3377 per dolar AS.
Gubernur The Fed Jerome Powell menyebut pihaknya siap mengambil langkah kebijakan yang lebih agresif jika memang diperlukan. Langkah ini tidak menutup kemungkinan adanya kenaikan bunga acuan lebih dari 25 bps pada pertemuan Mei.
Seperti diketahui, The Fed sudah mengumumkan kenaikan bunga acuan pertama pada pertemuan pekan lalu dan diperkirakan masih akan ada enam kenaikan lagi sampai akhir tahun. Selain tertekan sentimen pengetatan moneter The Fed, pelemahan rupiah hari ini juga masih dipengaruhi sentimen perang Rusia dan Ukraina. Uni Eropa sedang mempertimbangkan untuk mengikuti langkah Amerika Serikat melarang impor minyak mentah dari Rusia.
Merespon risiko kenaikan suku bunga global tersebut, Sri Mulyani menyiapkan tiga hal dalam rangka pengelolaan utang, sebagai berikut:
1. Pemerintah akan melihat waktu yang tepat untuk menerbitkan surat utang. Pemerintah juga akan melihat ketersediaan cash yang ada. Dengan pajak dan PNBP yang masih tinggi, maka penerbitan surat utang luar negeri bisa direm.
2. Pemerintah akan memperhatikan maturitas dan pilihan-pilihan mata uang. Jika mata uang tertentu sedang mengalami tekanan, maka penerbitan surat utang bisa dilakukan dengan denominasi lainnya karena selain dolar AS, pemerintah juga bisa menerbitkan obligasi dalam denominasi yen Jepang maupun euro Eropa.
3. Pemerintah melakukan debt swap untuk kemudian membeli kembali surat utang yang bunganya rendah.
“Utang yang suku bunganya tinggi kita recycle dengan yang suku bunganya rendah, sehingga kita melakukan debt swap itu untuk bisa mengurangi suku bunga, bahkan kita negosiasi secara terus menerus untuk mengurangi eksposur,” kata Sri Mulyani
Dengan langkah-langkah tersebut, ia memastikan pengelolaan keuangan negara dan utang akan terus dilakukan secara dinamis dengan mempertimbangkan lingkungan yang berubah dan kompeleks seperti saat ini.
Yield US Treasury tenor 10 tahun naik ke 2,32% pada Senin (21/2). Yield US Treasury sudah bergerak di atas 2% sejak pekan lalu di tengah penantian rapat The Fed.
Sebelumnya, Dana Moneter Internasional (IMF) menyebut akan memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun ini sebagai imbas dari perang. Sementara itu, Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) menyebut perang akan mengikis pertumbuhan ekonomi global sebesar 1,08% , khusus di zona Euro diperkirakan mengurangi hingga 1,8% dari pertumbuhan ekonominya. Sementara itu, inflasi dunia diperkirakan akan naik 2,47% serta adanya kenaikan 2% di Eropa.
Tekanan dari eksternal ini juga bersamaan dengan adanya potensi penarikan kebijakan moneter yang lebih agresif oleh bank sentral sejumlah negara maju. Selain itu, laporan neraca dagang bulan Februari yang masih berhasil surplus juga menambah dukungan penguatan kepada rupiah. Surplus neraca perdagangan menyentuh US$ 3,83 miliar bulan lalu ditopang kinerja moncer pada ekspor.
Selain itu, sentimen negatif akibat perang juga dipengaruhi negosiasi antara kedua negara yang belum juga mencapai kata sepakat. Sebagian pelaku pasar skeptis perang akan berakhir lebih lama, sehingga tekanan ke inflasi global berpeluang semakin tinggi karena gangguan suplai komoditas.
Perundingan antara Rusia dan Ukraina masih terus berlanjut, namun pembicaraan masih alot. Sebagian pelaku pasar optimis perdamaian akan segera tercapai tapi sebagian lagi skeptis bahwa perang bisa berlangsung lebih lama.
Dampak negatif dari perang ini juga masih terlihat dari kenaikan harga sejumlah komoditas. Harga minyak mentah dunia juga masih bertahan di atas US$ 100 per barel.
Dampak perang Rusia dan Ukraina terhadap perekonomian global sudah priced in dalam pasar. Kondisi ini juga didukung oleh adanya optimisme bahwa perundingan yang masih terus berlangsung dapat mendukung tercapainya perdamaian antara dua negara tersebut.